Kurikulum
nasional untuk mata ajar Bahasa dan Sastra Indonesia berorientasi pada
hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hakikat belajar bahasa
adalah belajar berkomunikasi. Hakikat belajar sastra adalah memahami
manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, hakikat
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia ialah peningkatan kemampuan
siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar
secara lisan dan tulis.
Pembelajaran
Bahasa Indonesia yang diberikan kepada para siswa meliputi empat aspek,
yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Di antara keempat
aspek tersebut dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada aspek
berbicara. Aspek berbicara ini dipilih karena sangat mendukung
terjadinya proses berkomunikasi secara lisan. Dengan belajar berbicara
siswa belajar berkomunikasi.
Menurut
Nuraeni (2002), “Kemampuan berbicara tidak dinyatakan secara eksplisit
dalam kurikulum sekolah menengah pertama, tetapi dinyatakan secara
implisit pada tema.” Akibatnya kalau guru kurang benar-benar memberikan
perhatian terhadap keterampilan berbicara itu, mungkin akan terabaikan
pengajarannya. Kemungkinan guru akan lebih menekankan keterampilan
berbahasa tertulis dan mengabaikan keterampilan berbahasa lisan.
Berbicara
merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari
pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator
sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara
lisan dapat diterima oleh pendengar apabila pembicara mampu
menyampaikannya dengan baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan
berbicara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang
dalam penyampaian informasi secara lisan.
Agar
pembicaraan itu mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal ini
bermakna bahwa pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara
yang efektif sehingga orang lain (pendengar) dapat menangkap informasi
yang disampaikan pembicara secara efektif pula.
Untuk
dapat menjadi seorang pembicara efektif, tentu dituntut kemampuan
menangkap informasi secara kritis dan efektif. Karena dengan memiliki
keterampilan menangkap informasi secara efektif dan kritis, pembicara
akan memiliki rasa tenggang rasa kepada lawan berbicara (pendengar),
sehingga pendengar dapat pula menangkap informasi yang disampaikan
pembicara secara efektif.
Berbicara
mengenai kemampuan menangkap informasi berarti kita berbicara pula
mengenai aktivitas menyimak. Tentu hal tersebut berkenaan dengan
kegiatan menyimak tepat guna dan menyimak efektif. Oleh karena itu, para
siswa perlu dilatih sejak dini mengenai upaya menyimak tepat guna dan
efektif agar kemampuan berbicaranya menjadi efektif pula.
Menurut
Nuraeni (2002), “Banyak orang beranggapan berbicara adalah suatu
pekerjaan yang mudah dan tidak perlu dipelajari.” Untuk situasi yang
tidak resmi barangkali anggapan ini ada benarnya, namun pada situasi
resmi pernyataan tersebut tidak berlaku. Kenyataannya tidak semua siswa
yang berani dan mau berbicara di depan kelas, sebab mereka umumnya
kurang terampil sebagai akibat dari kurangnya latihan berbicara. Untuk
itu, guru bahasa Indonesia merasa perlu melatih siswa untuk berbicara.
Latihan pertama kali yang perlu dilakukan guru ialah menumbuhkan
keberanian siswa untuk berbicara.
Berdasarkan
pengalaman empris di lapangan diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa
dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal ini diketahui pada saat
siswa menyampaikan pesan/informasi yang bersumber dari media dengan
bahasa yang runtut, baik, dan benar. Isi pembicaraan yang disampaikan
oleh siswa tersebut kurang jelas. Siswa berbicara tersendat-sendat
sehingga isi pembicaraan menjadi tidak jelas. Ada pula di antara siswa
yang tidak mau berbicara di depan kelas. Selain itu, pada
saat guru bertanya kepada seluruh siswa, umumnya siswa lama sekali untuk
menjawab pertanyaan guru. Beberapa orang siswa ada yang tidak mau
menjawab pertanyaan guru karena takut jawabannya itu salah. Apalagi
untuk berbicara di depan kelas, para siswa belum menunjukkan keberanian.
Dari
latar belakang di atas perlu dicari alternatif lain sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Hal ini mengingat pentingnya
pengajaran berbicara sebagai salah satu usaha meningkatkan kemampuan
berbahasa lisan di tingkat sekolah menengah pertama, penulis menggunakan
teknik pengajaran berbicara yaitu teknik cerita berantai. Dipilihnya
teknik cerita berantai ini karena mampu mengajak siswa untuk berbicara.
Dengan teknik ini, siswa termotivasi untuk berbicara di depan kelas.
Siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan
berimajinasi. Di samping itu, diharapkan pula agar siswa mempunyai
keberanian dalam berkomunikasi.
Menurut
Tarigan (1990), “Penerapan teknik cerita berantai ini dimaksudkan untuk
membangkitkan keberanian siswa dalam berbicara. Jika siswa telah
menunjukkan keberanian, diharapkan kemampuan berbicaranya menjadi
meningkat.”
Teknik
cerita berantai bisa dimulai dari seorang siswa yang menerima informasi
dari guru, kemudian siswa tadi membisikkan informasi itu kepada teman
lain, dan teman yang telah menerima bisikan meneruskannya kepada teman
yang lain lagi. Begitulah seterusnya. Pada akhir kegiatan akan
dievaluasi, yaitu: siswa yang mana yang menerima informasi yang benar
atau salah. Siswa yang salah menerima informasi tentu akan salah pula
menyampaikan informasi kepada orang lain. Sebaliknya, bisa saja terjadi
informasi yang diterima oleh siswa itu benar tetapi mereka keliru
menyampaikannya kepada teman yang lain. Untuk itu, diperlukan
pertimbangan yang cukup bijak dari guru untuk menilai keberhasilan
teknik cerita berantai ini.
Menurut
Nuraeni (2002), “Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari
pembicara kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan,
sikap, dan keterampilan pendengar sebagai akibat dari informasi yang
diterimanya.”
Tarigan
(1990) berpendapat bahwa teknik cerita berantai adalah salah satu
teknik dalam pengajaran berbicara yang menceritakan suatu cerita kepada
siswa pertama, kemudian siswa pertama menceritakan kepada siswa kedua,
dan seterusnya kemudian cerita tersebut diceritakan kembali lagi kepada
siswa yang pertama.
Menurut Tarigan (1990), cerita berantai dapat diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
- Guru menyusun suatu cerita yang dituliskan dalam sehelai kertas.
- Cerita itu kemudian dibaca dan dihapalkan oleh siswa.
- Siswa pertama menceritakan cerita tersebut, tanpa melihat teks, kepada siswa kedua.
- Siswa kedua menceritakan cerita itu kepada siswa ketiga.
- Siswa ketiga menceritakan kembali cerita itu kepada siswa pertama.
- Sewaktu siswa ketiga bercerita suaranya direkam.
- Guru menuliskan isi rekaman siswa ketiga di papan tulis.
- Hasil rekaman diperbandingkan dengan teks asli cerita.
Untuk menerapkan teknik cerita berantai diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Guru menyiapkan sehelai kertas yang bertuliskan pesan (kurang lebih satu atau tiga kalimat) yang akan disampaikan kepada siswa.
- Pesan yang hendak disampaikan guru menyangkut kejadian-kejadian yang cukup menarik dan berarti bagi siswa. Misalnya: cara meningkatkan hasil belajar, penerapan disiplin diri, atau motivasi belajar.
- Siswa yang duduk di depan menerima pesan dari guru dan meneruskannya kepada siswa yang duduk di sebelahnya. Kegiatan ini dilakukan siswa di depan kelas sambil berdiri.
- Siswa yang telah menerima pesan meneruskannya kembali kepada siswa lain. Kegiatan ini dilakukan sampai pada tiga orang siswa saja. Kemudian siswa ketiga menceritakan isi cerita kepada siswa pertama.
- Guru dan siswa membandingkan isi cerita siswa pertama dengan ketiga.
Pembahasan Hasil
Penggunaan
teknik cerita berantai ternyata memberikan beberapa manfaat dalam
meningkatkan keterampilan berbicara siswa, antara lain:
- Pembelajaran berlangsung lebih efektif.
- Keaktifan siswa lebih meningkat.
- Terjadi interaksi yang positif antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.
- Proses pembelajaran berjalan lebih terarah dan lebih menarik.
Di
samping manfaat di atas, penerapan teknik cerita berantai menurut hasil
temuan di lapangan memiliki beberapa kendala dan hambatan, seperti:
- Waktu yang tersedia masih kurang mencukupi.
- Memerlukan kecermatan dalam memberikan penilaian.
- Kalimat yang panjang lebih dari tiga kalimat masih sulit untuk disimak.
Pembentukan
kelompok dalam menerapkan teknik cerita berantai dapat membangkitkan
minat dan motivasi siswa untuk berbicara dan sekaligus menyimak bahan
pembicaraan. Pada waktu siswa menyimak pesan, tampak siswa saling
mengingatkan dengan sesama anggota kelompok. Ini dilakukan agar siswa
tidak keliru menyampaikan isi bahan simakan. Fenomena ini membuat siswa
harus dapat menyimak dengan teliti, sebab siswa takut sekali akan
membuat kesalahan dalam menyampaikan isi bahan simakan pada saat ia
disuruh untuk berbicara.
Kegiatan
yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian,
minat, dan motivasi siswa sehingga pada akhirnya dapat menciptakan
keaktifan dan ketelitian siswa pada waktu akan menyampaikan isi bahan
simakan di depan kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Nuraeni, Euis dan Agus Supriatna. 2002. Penataran Tertulis Tipe A untuk Guru-Guru SLTP Jurusan Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Tarigan, Djago dan H.G. Tarigan. 1990. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.